edit1Adat istiadat bangsa kita di seluruh nusantara, termasuk Orang-orang di kampungku amat sangat hormat pada menantu, apalagi menantu yang terpelajar dan alim. Dalam memilih menantu, biasanya para orang tua mempertimbang-kan tiga hal : bibit, bebet dan bobotnya.

Bibit maksudnya, calon menantu itu anak keturunan siapa, nasabnya dari mana, berasal dari keluarga siapa. Diharapkan dari keluarga baik-baik dan terhormat tentunya.

Kalau bebet maksudnya, kemampuan, kesiapan, dan kesanggupan seseorang dalam memberi nafkah keluarga. Ini tinjauan kemampuan secara ekonomi.

Dan yang ketiga bobot. Maksudnya adalah kualitas seseorang dalam arti yang luas. Biasanya meliputi aspek pendidikan, akhlak dan agama.

Kalau mengacu pada hadis nabi: “Seseorang itu dinikahi karena empat hal, pertama karena cantik atau tampan, kedua karena faktor hartanya, yang ketiga faktor keturunannya (dari keturunan orang baik-baik) dan yang keempat karena faktor agamanya. Dan faktor yang lebih utama adalah karena faktor agamanya.

Sebagai wujud penghormatan pada menantu, maka para menantu diberi gelar kehormatan. Pemberian gelar biasanya dilakukan sesudah akad nikah dilangsungkan. Pemberian gelar yang diberikan oleh keluarga, pada hakekatnya adalah pemberian gelar oleh para datuk atau tetua adat. Dan para mertua jika ada keperluan untuk memanggil menantunya, maka mertua tidak diperkenankan langsung memanggil nama akan tetapi mertua harus memanggil gelarnya.

Sebenarnya suamiku juga mendapat gelar kehormatan itu, hanya saja suamiku lebih suka dipanggil namanya saja. Akhirnya mamahku, papaku, om dan tante serta nenekku juga memanggil suamiku dengan namanya saja, tidak memanggil gelarnya. Seisi rumahku sangat hormat padanya. Ia adalah panutan dan imam kami di rumah besar ini.

Alhamdulillah, sampai hari ini tak ada yang dikeluhkan oleh suamiku selama ia tinggal di rumah mertua. Ia kerasan tinggal di rumah besar ini.

Rupanya seorang suami tinggal di mana saja, tak terlalu menjadi persoalan bagi mereka, yang penting ia punya rumah untuk pulang. Di rumah itu ada istri yang menyenangkan, ada anak-anak yang menggembirakan, di rumah itu ada kerinduan dan kehangatan. Jadi, bagi lelaki tinggal di rumah mertua, tinggal di rumah sendiri nyaman-nyaman saja. Kedamaian tergantung suasana hati, bergantung pada perasaan dan sikap seseorang dalam menghadapi kondisi hidup ini, bukankah begitu?

Resiko tinggal serumah dengan mertua, di rumah keluarga besar, pasti akan terjadi berbagai persinggungan dengan berbagai hajat dan kepentingan masing-masing. Intervensi dari saudara, dan orang tua atau mertua terhadap keluarga kita. Pasti akan terjadi.

Sudah menjadi rahasia umum kalau mertua suka ikut campur urusan anak atau menantunya, sebaliknya anak atau menantu tak mau urusan keluarganya dicampuri oleh mertua. Sama seperti aku, suamiku juga tak mau privasinya terganggu, tak mau persoalan keluarganya dicampuri oleh mertua.

Para konsultan keluarga mengatakan bahwa, salah satu pangkal keributan suami istri dalam rumah tangga, adalah adanya intervensi mertua. Campur tangan mertua ke dalam rumah tangga anak-menantunya membuat rumah tangga menjadi tidak nyaman kerap terjadi percekcokan, keributan dalam rumah tangga, dan puncaknya hingga menimbulkan perceraian.

Apa yang akan terjadi jika ibu mertua ikut campur dalam urusan keluarga menantunya? Jika menantu tidak bisa memaklumi sikap mertua, yang terjadi adalah sang menantu akan melampiaskan kemarahannya kepada suaminya.

Menantu umumnya tidak berani marah kepada mertuanya. Kondisi ini membuat suami menjadi serba salah. Sang suami harus memilih antara menjadi suami yang baik atau menjadi anak yang berbakti. Kalau kamu pilih yang mana?

Apa sih sebetulnya yang menyebabkan mertua ingin mengintervensi keluarga anak-menantunya? Ada empat faktor yang melatarbelakangi mengapa mertua suka meng-intervensi keluarga anak-menantunya.

Pertama, orang tua sulit melihat anaknya yang masih muda dan belum berpengalaman itu, kini harus bertanggung jawab mengurus putra atau putri mereka.

Kedua, orang tua tidak ingin tersisih di mata anaknya yang telah menikah, karena kini sudah ada yang mengurus anaknya, mengurus makan dan pakaiannya. Dia merasa telah mengasuh, memelihara dan membesarkan anaknya dan ia telah berkorban apa saja demi anak yang tersayang, karena itu ia tidak ingin tersisih.

Ketiga, Mereka cemas apakah putra atau putri mereka sanggup menggapai kebahagiaan dalam perkawinan mereka. Banyak mertua yang tidak sabar dalam melihat keluarga muda ini menyelesaikan masalah, maka mertua segera ingin mengintervensi.

Keempat, orang tua memang diundang untuk ikut campur dalam urusan keluarga anaknya. Keluarga yang sangat akrab, keluarga yang biasa terbuka, biasa berdiskusi dalam segala hal. Setelah mereka menikah, sang anak masih saja meminta saran pada ayah ibunya tentang hal-hal yang semestinya mereka putuskan bersama dalam keluarga kecil mereka. Sang istri lebih dulu meminta pendapat ayahnya, ketimbang pendapat suaminya atau sebaliknya sang suami lebih meminta pendapat ibunya dari pada pendapat istrinya.

Walaupun mereka para orang tua dalam hal mencam-puri urusan anak dan menantunya dengan cara-cara yang amat bijaksana sekalipun, tetap saja oleh menantu hal itu dipandang sebagai sebuah intervensi.

Satu hal yang perlu disadari oleh para menantu, bahwa, kebanyakan mertua akan terus mencampuri rumah tangga anak-menantunya, memberikan nasihat tanpa perlu diminta. Apalagi anak menantu tinggal di rumahnya. Hanya saja bagaimana Anda menyikapi dan menyiasati hal ini, agar tidak muncul ketegangan dalam keluargamu, apalagi sampai menimbulkan percekcokan.

Cobalah kita bangun rasa empati, pahami secara positif motif di balik tindakan yang tampaknya mencampuri urusan rumahtangga kita. Dan jadikanlah mertua kita sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keluarga kita, jadikan mereka bagian terpenting dalam kehidupan keluarga kita. Intervensi mertua tak bisa dihindari, tapi bisa disiasati. Ok.

( dari buku RUMAH – KITA…oleh Edy Sukardi, Rumah adalah di mana kita bisa diterima)

 

 

Leave a Reply