001

PEMERINTAH mengakui masih terdapat beberapa permasalahan mendasar yang harus diselesaikan perihal dikotomi pembangunan ekonomi yang belum diimbangi dengan strategi kebudayaan yang kuat. Akibatnya, krisis kebudayaan masih melanda Indonesia.

Hal tersebut dikemukakan Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kem­endikbud), Hilmar Farid, di sela-sela acara seminar nasional kebudayaan di Jakarta (6 September 2016)

“Krisis kebudayaan ini memperlemah jati diri bangsa, ketahanan budaya, dan nasional. Permasalahan lainnya ialah kemampuan dalam mengelola keragaman budaya yang dimiliki saat ini belum optimal,” ujar Hilmar.

Hal tersebut ditandai dengan semakin sering terjadinya diskriminasi SARA dalam masyarakat, belum terjadinya rasa tenggang rasa yang tinggi, masih ada disorientasi tata nilai, serta semakin meningkatnya pengalihan ruang publik menjadi ruang swasta sehingga terbatasnya ruang bagi masyarakat dalam mengekspresikan kebudayaan.

Selain itu, imbuh Hilmar, sinergi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat belum kuat dalam usa­ha pemajuan kebudayaan Indonesia. Hilmar berharap, melalui RUU Kebudayaan yang diharapkan rampung dan disahkan pada tahun ini, permasalahan yang ada di kebudayaan nasional bisa teratasi.

“Kita berharap segera disahkan karena berkaitan dengan tata ke­lola kebudayaan. Selama ini, banyak kegiatan dan pelestarian kebudayaan belum memiliki landasan hukum. Selain itu di beberapa daerah, pusat kesenian dan taman budaya banyak yang tidak terawat,” ujar Hilmar. Ke depan, lanjut dia, jika sudah ada landasan hukumnya, pemerintah da­erah wajib mengalokasikan anggaran untuk pembangunan pusat-pusat kebudayaan.

Ketua Komisi X DPR Ferdiansyah juga mengakui selama ini masalah kebudayaan masih kerap diabaikan. Para pemangku kebijakan (di Kemendikbud) lebih mementingkan masalah pendidikan daripada kebudayaan. (Bay/H-1)

 

Leave a Reply