https://www.youtube.com/watch?v=wyV_sIqZUI4
Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini. Sejumlah ormas Islam seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), PP Muhammadiyah, hingga PB Nahdlatul Ulama telah membuka suara menyatakan penolakan. MUI bahkan mengeluarkan maklumat tertanggal 12 Juni 2020. Dalam edaran maklumat nomor Kep-1240/DP-MUI/VI/2020 itu disebutkan alasan penolakan antara lain karena tidak dicantumkannya TAP MPRS No. 25 tahun 1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), termasuk pelarangan ajaran dan penyebaran ideologi Komunisme/Marxisme.
Kemudian RUU HIP itu juga disebutkan telah mendistorsi nilai dan tafsir Pancasila, apalagi dengan adanya pasal yang menyebutkan pemerasan Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Artinya, dapat ditarik dua hal yang menjadi persoalan, pertama yakni tidak dicantumkannya TAP MPRS No. 25 tahun 1966, yang kedua karena adanya pendistorsian Pancasila yang lebih berorientasi kepada “Sukarnoisme”. Disebut sebagai “Sukarnoisme” sebab dalam naskah akademik maupun draf RUU HIP itu memang sangat jelas sekali menjadikan pandangan Soekarno sebagai pendapat utama dalam menafsirkan Pancasila.
Dalam naskah akademik yang dapat diunduh dari situs resmi DPR (dpr.go.id), kita akan menemukan bagaimana dalam RUU HIP ini benar-benar selalu dan hanya menjadikan Sukarno sebagai rujukan. Misal, dalam naskah akademik tersebut ketika menjelaskan nilai-nilai Pancasila, setiap butir silanya selalu dan hanya mengutip pendapat Sukarno. Begitu pun istilah “gotong-royong” berulang kali disebutkan. Gotong-royong adalah jiwa utama dari bangsa Indonesia yang harus menjiwai dasar negara Indonesia menurut Sukarno.
Jika kita berkaca dari awal perumusan Pancasila, yang menjadi persoalan sejak dahulu adalah tidak semua tokoh dan golongan menyepakati pendapat Sukarno. Sebagaimana diungkapkan Yudi Latif tuliskan dalam karyanya Negara Paripurna, Sukarno berpidato pada 1 Juni 1945 itu tidak menjadikan pemikirannya mengenai Trisila dan Ekasila sebagai sebuah keharusan, melainkan itu hanyalah sebuah alternatif semata apabila ada pihak-pihak yang mungkin tidak setuju dengan lima sila. Saat itu Sukarno berujar:
“Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: Socio-nationalisme, Socio-democratie, dan Ketuhanan. Kalau tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu? Yaitu perkataan gotong-royong.” (Latif, 2012: 19).
Dari pidato Sukarno tersebut kita dapat melihat bahwa tidak ada keharusan ataupun pemaksaan bahwa yang lima itu harus diperas menjadi tiga ataupun satu saja. Pada akhirnya Sukarno sendiri membentuk Panitia Sembilan yang kemudian menghasilkan dasar negara versi Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, dengan lima sila dan susunan yang berbeda dengan apa yang Sukarno jabarkan. Kemudian Pancasila itu disahkan sebagai dasar negara pada sidang pertama PPKI pada 18 Agustus 1945 dengan perubahan redaksi di sila pertamanya. Inilah Pancasila yang hingga saat ini kita jadikan dasar negara.
Konsep Trisila dan Ekasila sendiri setelah pidato Sukarno 1 Juni 1945 itu tidak pernah lagi dibahas, bahkan istilah tersebut tidak dimasukkan sama sekali dalam UUD 1945 di pembukaan maupun batang tubuhnya. Maka akan jadi bermasalah ketika pemerasan Pancasila ini menjadi Trisila dan Ekasila dipaksakan dengan cara dilegalkan karena dimasukkan ke dalam salah satu pasal di RUU HIP. Banyak pihak, khususnya golongan Islam yang tidak menyepakati pandangan pemerasan Pancasila seperti itu karena menghapuskan sila Ketuhanan.
Bagi golongan Islam, sila Ketuhanan adalah sebuah hal yang paling penting dari keseluruhan sila karena dengan Ketuhanan itu keempat sila lainnya dijiwai. Pandangan golongan Islam ini dapat kita lihat misalnya dari sosok Buya Hamka yang pada 1951 menerbitkan karyanya berjudul Urat Tunggang Pancasila. Dalam karyanya itu Hamka menyebutkan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini adalah urat tunggangnya Pancasila. Dari sila pertama inilah kemudian kita berpijak mengamalkan keempat sila setelahnya (Hamka, 1951: 34).
Jadi bagi golongan agama khususnya Islam, Ketuhanan Yang Maha Esa ini adalah pokok landasan moral bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pandangan dari golongan agama ini memang sedikit berbeda dengan Sukarno mengenai sila Ketuhanan yang pada awalnya disebut Ketuhanan Yang Berkebudayaan, dimana Sukarno hanya mengungkit Ketuhanan itu dalam artian mempercayai Tuhan dengan saling menghormati dan menghargai antarumat beragama. Maka tidak masalah meskipun sila Ketuhanan dihapuskan karena jiwa dari Pancasila yang harus menjadi dasar negara itu ialah gotong-royong, di mana umat beragama tetap bisa menyembah Tuhannya namun tetap saling menghormati dan menghargai.
Adapun ketakutan terhadap kebangkitan PKI melalui RUU HIP ini selain karena tidak dicantumkannya TAP MPRS No. 25 tahun 1966, juga karena distorsi makna Pancasila seperti disebutkan di atas. Pihak PKI memang tidak dilibatkan dalam BPUPK maupun PPKI sehingga mereka tidak turut andil dalam perumusan. Namun kita bisa melihat sikap dan pandangan mereka di dalam persidangan Majelis Konstituante pada 1957-1959.
Di dalam persidangan itu, pihak-pihak dari partai Islam menganggap penerimaan tokoh-tokoh PKI atas Pancasila yang mengandung sila Ketuhanan menunjukkan bahwa pihak PKI tidak konsisten pada pendirian isme-nya yang bersifat ateistik dan harus dianggap siasat belaka. Terlebih lagi perwakilan dari PKI dalam Komisi I yang membahas dasar negara berusaha mengganti sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hidup (Latif, 2012: 93).
Jadi segala polemik RUU HIP yang terjadi hari ini tampak seperti pengulangan polemik-polemik yang pernah terjadi sebelumnya. Bahkan dapat dikatakan sebagai membuka kembali bahasan lama yang sebenarnya sudah selesai itu. Tentu sangat tidak elok sekali apabila Pancasila hari ini yang sudah menjadi titik temu dari berbagai golongan itu ingin secara paksa dan legal dengan satu tafsir sepihak. Padahal Sukarno sendiri –yang pidatonya pada 1 Juni 1945 itu dijadikan hari lahir Pancasila– tidak pernah memaksakan pandangannya itu masuk ke dalam konstitusi secara legal.
Begitupun dari golongan Islam melunakkan ego mereka untuk menghapuskan tujuh kata pada sila pertama. Oleh karena itu di tengah situasi permasalahan bangsa sekarang ini seperti pandemi Covid-19, penuntasan kasus HAM, krisis ekonomi, dan sebagainya, bahasan RUU HIP ini tampak kurang mendesak bahkan tidak penting sebab hanya membuka kembali polemik yang sejak dahulu sudah dituntaskan.
Editor : Akhlanudin