Dr. Desvian Bandarsyah
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Prof. Dr. Hamka
Hiruk pikuk keindonesiaan kita pada 10 tahun terakhir ini semakin memberikan gambaran, betapa mendesaknya reformasi kepartaian di Indonesia. Partai politik yang elitis dan didominasi oleh satu atau dua tokoh elitenya, menjadikan partai sebagai pilar demokrasi yang tidak demokratis di dalam tubuhnya sendiri.
Reformasi Kepartaian
Hiruk pikuk tentang KPK, HIP, dan Omnibus Law yang terakhir ini, memberikan gambaran bahwa sesungguhnya pengambilan keputusan di dalam DPR ditentukan oleh partai. Dan partai ditentukan oleh keputusan elite partai yang jumlahnya satu atau dua orang itu.
Konflik di dalam tubuh partai antar kepentingan tokoh yang menyebabkan partai mengalami perpecahan berkali kali, itu juga ditentukan oleh elitenya masing-masing.
Lalu, problema kepentingan pilkada yang sering melahirkan kepemimpinan di daerah yang lemah dan korup, juga ditentukan oleh elite partai. Singkat kata, kepartaian politik kita dan politik kepartaian kita harus di reformasi.
Berikutnya, yaitu lemahnya rekrutmen kader dan seringnya partai mendorong non kader untuk dicalonkan di posisi ini dan itu, juga disebabkan oleh dominasi elite dimaksud.
Itu sejumlah argumen yang bisa diketengahkan untuk memberi jalan bagi reformasi kepartaian kita sesegera mungkin dan secepatnya. Tanpa itu, demokrasi kita hanya akan riuh dan rendah terus menerus. Selain itu, juga hanya akan menghasilkan aksi dan reaksi yang sangat spontan serta menimbulkan suasana mencekam yang ujungnya membenturkan rakyat dengan aparat di lapangan. Barang tentu, akan ada korban yang tak dapat terhindarkan.
Reformasi di dalam tubuh partai politik diyakini akan menimbulkan pertumbuhan demokrasi yang sehat dalam tubuh partai. Di samping itu, reformasi kepartaian juga dapat mendorong kebijakan yang sehat pula bagi iklim demokrasi kita dan akhirnya melahirkan output dan outcome yang positif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Reformasi kepartaian akan mendorong partai tumbuh dan berkembang secara sehat. Suara demokrasi yang demokratis akan muncul secara genuine dalam dinamika di antara kadernya. Kader akan mengalami perkembangan jiwa demokratis dalam iklim semacam itu. Budaya “siap pimpinan”, “laksanakan”, dan segala idiom yang mencermikan kepatuhan membuta dan menggila bisa dihilangkan.
Singkatnya, akan muncul kader yang bisa mencerna kepentingan-kepentingan politik kepartaian dalam koridor dan dinamika kebangsaan. Bukan sebaliknya, sebagaimana yang terjadi selama ini dan menjadi tontonan murahan masyarakat kita dalam era demokrasi dewasa ini.
Keharusan
Reformasi kepartaian juga meniscayakan efek positif dalam proses pengambilan keputusan di DPR. Para anggota DPR akan menghadirkan dirinya dalam sidang-sidang parlemen sebagai dirinya sendiri dan hanya mewakili rakyat sebagai konstituen yang memilihnya. Dalam kerangka yang lebih mewah lagi, anggota DPR memiliki kerangka berpikir yang lebih luas dan mewah soal kenegaraan dan kebangsaan dalam setiap rapat dan sidang-sidangnya.
Posisi, pemikiran, sikap, serta keputusan mereka tidak selalu dikendalikan dan diatur oleh elite partai sebagaimana yang tergambar pada setiap pengambilan keputusan di rumah wakil rakyat itu. Tentu saja elite partai bisa memberikan perspektif, tetapi karena elite partai lahir dari sistem kepartaian yang telah direformasi, maka perspektif mereka menjadi sangat mewah dan megah dalam melihat kepentingan bangsa dan negaranya.
Reformasi kepartaian suatu keharusan, jika peran partai politik sebagai pilar demokrasi yang memberikan kontribusi sangat strategis bagi pembangunan bangsa, ingin di wujudkan. Mari memperbaiki hulu dari carut marut kehidupan bernegara kita, ketimbang harus ribut karena mempersoalkan hilir dari carut marut kebijakan dan keputusan elite partai yang berada pada hulu persoalan demokrasi kita.