Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar mengatakan bahwa Manhaj Tarjih adalah suatu sistem istinbath hukum yang terdiri atas empat unsur: wawasan, sumber, pendekatan, dan prosedur teknis (metode). Di dalam prosedur teknis, ada tiga metode yang digunakan Manhaj Tarjih, yaitu: bayani, ta’lili, dan taufiqi.
“Harap kita harus bedakan antara pendekatan bayani dan metode bayani. Jika pendekatan bayani berarti rumpun epistemologi bayani seperti ilmu tafsir, ilmu fikih, ilmu bahasa, sementara metode bayani berarti metode intepretasi yang ditujukan untuk menjelaskan teks-teks yang sudah ada,” jelas Syamsul dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (15/12).
Syamsul menjelaskan bahwa metode bayani adalah analisis tekstual terhadap suatu pernyataan hukum (nash/teks) mengenai suatu kasus yang pernyataannya itu kurang jelas maksudnya dalam kaitan dengan teks tersebut. Karenanya, ia membagi teks/lafal ke dalam dua kelompok: teks yang jelas (al-alfadz al-wadhihah), dan teks yang tidak jelas (al-alfadz ghair al-wadhihah).
Terdapat empat tingkatan dalam teks yang jelas (al-alfadz al-wadhihah), yaitu: 1) muhkam, yaitu teks yang sudah jelas maksudnya sehingga tidak ada lagi kemungkinan dinasakh dan ditakwil. Misalnya, QS. Al Ikhlas ayat 1-4 tentang Keesaan Allah Swt. 2) mufassar, yaitu teks yang jelas dan rinci dan tidak dapat ditakwil, namun ada kemungkinan dinasakh. Contohnya, ayat-ayat atau hadis yang menyebutkan rincian seperti jumlah/angka: 1, 2, ½, 100, dan lain sebagainya.
“Kata esa dalam Al Quran tidak bisa ditakwil-takwil, tapi harus diambil makna apa adanya. Tidak bisa kita takwil bahwa makna esa itu terdiri dari tiga oknum, tidak bisa, jadi esa itu ya esa,” tutur Guru Besar Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.
3) nash, yaitu teks yang menunjukkan kepada makna yang menjadi maksud primer, namun ada kemungkinan bisa ditakwil; 4) zahir, teks yang menunjuk pada makna sekunder. Misalnya, hadis tentang larangan berbicara bagi jamaah jumat ketika Khatib telah memulai khutbah. Makna sekunder dari hadis tersebut adalah anjuran agar khatib sekaligus menjadi imam.
“Makna primer dalam hadis tersebut ialah larangan untuk diam ketika khatib memulai khutbah, makna sekundernya ialah anjuran agar yang menjadi khatib itu sekaligus menjadi imam salat jumat,” ungkap Syamsul Anwar.
Sumber : Muhammadiyah.Or.Id