Majelis Tarjih berdiri pada tahun 1927 sebagai hasil dari keputusan Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan. Pada saat itu, Hoofdbestuur Muhammadiyah dipegang oleh KH. Ibrahim menggantikan KH. Ahmad Dahlan. Dosen Universitas Muhammadiyah Malang Pradana Boy mengatakan bahwa ide pembentukan lembaga fatwa keagamaan Muhammadiyah lahir dari KH. Mas Mansur.

“Ide gagasan pelembagaan fatwa atau ijtihad keagamaan berasal dari KH. Mas Mansur. Sehingga tidak salah bila menyebut gagasan tentang Majelis Tarjih itu memang berasal dari KH. Mas Mansur,” ujar Pradana Boy dalam Santri Cendekia Forum yang diselenggarakan Pusat Tarjih Muhammadiyah Universitas Ahmad Dahlan pada Selasa (11/01).

Pradana Boy menyebut dua faktor berdirinya Majelis Tarjih, yaitu pertama internal. Seiring dengan perluasan organisasi yang menyedot banyak anggota itu, aktivitas sosial dan amal usaha Muhammadiyah juga meningkat secara hebat dan berhasil, terutama di bidang pendidikan, penyantunan dan pelayanan sosial, dakwah dan lainlain aktivitas. Pembentukan Majelis Tarjih dipandang tepat karena menjadi lembaga yang dirancang untuk mengakomodasi konflik dan perbedaan pendapat.

Inilah yang menjadi alasan mengapa dinamai Majelis “Tarjih” bukan Majelis “Tasyri’”. Padahal, awal mula nama majelis yang diusulkan dalam Kongres Muhammadiyah di Pekalongan itu adalah Majelis Tasyri’. Pradana Boy menjelaskan bahwa istilah “Tasyri’” terlalu tinggi seakan menyamai hakikat fungsi Allah dan Rasul-Nya, sehingga dipilihlah kata “Tarjih” karena sesuai dengan spiritnya yaitu mengakomodir perbedaan pendapat.

Karena Muhammadiyah berkembang semakin luas, massanya semakin banyak, terdapat aneka ragam anggota Muhammadiyah, mau tidak mau, timbul keanekaragaman pemikiran keagamaan di tubuh persyarikatan. Karenanya, berdirinya Majelis Tarjih berperan sebagai pengakomodir perbedaan pendapat,” terang anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur ini.

Kedua, faktor eksternal. Keberadaan Majelis Tarjih tidak bisa dilepaskan dari faktor keberadaan Ahmadiyah. Awal perkembangan Ahmadiyah di Indonesia justru mendapat respons positif dari Muhammadiyah, sebab keduanya memiliki perjuangan yang sama, yaitu: memurnikan iman dan memodernkan Islam. Bahkan salah satu tokoh Ahmadiyah yaitu Ali Ahmad Baig pernah menjadi pembicara dalam diskusi internal Muhammadiyah.

Pada 5 Juli 1928, Hoofdbestuur Muhammadiyah ketika itu kemudian mengeluarkan deklarasi resmi yang dikirim ke semua cabangnya. Salah satu pesannya adalah larangan menyebarkan pengetahuan atau pandangan apa pun dari Ahmadiyah. Dengan tegas surat itu berisi agar menolak ajaran Ahmadiyah, atau jika tidak, maka harus meninggalkan organisasi Muhammadiyah.

“Salah satu lahirnya Majelis Tarjih adalah adanya penetrasi Ahmadiyah ke dalam Muhammadiyah. Oleh para peneliti ini dijadikan faktor eksternal dari kelahiran Majelis Tarjih,” tutur Asisten Rektor Universitas Muhammadiyah Malang ini.

sumber : Muhammadiyah.or.id

Leave a Reply