Oleh: Mukhlis Rahmanto

Lintasan kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau lebih dikenal dengan sirah nabawiyah, khususnya mulai dari turunnya wahyu hingga Makkah dikuasai kembali (fathu Makkah) oleh kaum muslimin pada 10 Ramadan 8 H/630 M, banyak berisikan perbuatan dan sikap beliau yang mencerminkan penghargaan dan penghormatan terhadap perempuan. Hal tersebut sekaligus menandakan peran strategis perempuan dalam perkembangan dakwah Islam.

Peran perempuan pertama dapat kita lihat sewaktu wahyu turun pada bulan Ramadan tahun 610 M. Ketika itu, Nabi mendapatkan sesuatu yang besar selama masa tahannuts atau beribadahnya di gua Hira, kemudian pulang ke rumahnya dalam keadaan menggigil kedinginan. Melihat hal tersebut, ia meminta kepada istrinya, Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha, untuk menyelimutinya dengan selimut, “zammiluni, zammiluni!”. Nabi pun merasa hangat dan tenang dalam pelukan perempuan yang adalah istrinya. Lalu ia menceritakan bahwa ia mendapat wahyu dan seketika itu pula Khadijah langsung membenarkan dan mempercayai berita mengenai wahyu Allah yang beliau sampaikan.

Nabi bisa saja memberikan kabar penting ini kepada sahabat lelakinya yang dekat dengan beliau, namun dengan kehendak Allah, beliau mempercayakan kabar penting ini kepada istrinya. Hal ini menunjukkan bahwa  Allah, dengan kehendak-Nya, sangat memuliakan dan memberikan penghormatan kepada perempuan dengan mempercayakan dan memprioritaskan kabar yang pertama dan sangat penting akan dakwah Islam ini pada kaum Hawa. Inilah tonggak penghormatan pertama Islam terhadap perempuan yang terbukti sangat tepat. Hal itu ditunjukkan dengan haqqul yaqin atau percaya seratus persennya Khadijah akan kebenaran wahyu yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Jamaah rahimakumullah.

Kisah kedua masih terkait dengan peran Khadijah dalam membesarkan hati Nabi saat beliau merasa berat dan khawatir tatkala mendapat wahyu tersebut. Apalagi, dengan cerdas, Khadijah mengajak  beliau mengkonfirmasi kebenaran berita ini kepada pamannya, Waraqah  bin Naufal, seorang rahib Nasrani yang mengimani kenabian Isa alaihissalam. Waraqah pun  mengatakan, “Inilah Namus yang pernah diturunkan kepada Nabi Musa. Engkau akan menjadi utusan Tuhan. Engkau  akan didustakan, disakiti, diusir, dan dibunuh. Kalau saja aku masih muda dan kuat, aku pasti akan membelamu, manakala kaummu mengusirmu.”

Mari kita lihat apa yang diucapkan Khadijah untuk menguatkan hati Nabi yang gundah setelah mendengar  keterangan Waraqah yang terekam dalam kitab Shahih Al-Bukhari No. 2297 dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berikut ini:

كَلّا وَاللَّهِ مَا يُخْزِيْكَ اللَّهُ أبَدًا إنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وتَحْمِلُ الكَلَّ وتَكْسِبُ الْمَعْدُوْمَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ (رواه البخاري)

Artinya, “Tidak, (sayangku). Demi Allah, Dia tidak akan pernah merendahkanmu. Engkaulah orang yang akan mempersatukan dan mempersaudarakan umat manusia, memikul beban penderitaan orang lain, bekerja untuk mereka yang lemah, menjamu tamu dan menolong orang-orang yang menderita demi kebenaran.” (H.R. Bukhari)

Nampaklah di sini, Khadijah mewakili kaum perempuan yang membela, berkorban, dan banyak berjuang, khususnya untuk Nabi dan dakwah Islam, lewat kata dan perbuatan. Khadijah tidak hanya mendukung secara spiritual kepada Nabi yang juga suaminya, akan tetapi juga banyak berkorban material untuk perkembangan awal dakwah Islam.

Kedatangan Islam sendiri secara umum memang mengubah banyak pandangan dan sikap terhadap perempuan yang di masa jahiliyah tidak banyak dilihat kedudukannya di dalam masyarakat. Itu terjadi jauh sebelum gerakan feminisme muncul di masa modern.

Kisah ketiga muncul terkait dengan sikap dan pembelaan Nabi terhadap seorang perempuan muslim yang mendapatkan pelecehan. Suatu hari, seorang perempuan muslimah pergi ke pasar Yahudi milik Bani Qunaiqa untuk membeli keperluan sehari-hari. Hingga ketika berada di sebuah lapak, pria penjual yang Yahudi tersebut pun menggoda perempuan muslimah ini dengan meminta melepas jilbabnya.

Tentu saja perempuan muslimah ini menolak. Hingga tiba-tiba seorang pria Yahudi lain mengikat ujung pakaiannya sehingga membuat auratnya tersingkap. Kebetulan kejadian itu dilihat oleh seorang pria muslim dan terjadilah pertengkaran dengan pria Yahudi yang melepas dan merobek jilbab muslimah tersebut. Pria muslim ini akhirnya dikeroyok oleh kalangan Yahudi hingga terbunuhlah pria tersebut.

Kejadian inipun dilaporkan kepada Nabi dan beliau sebagai kepala negara Madinah saat itu, memutuskan untuk mengusir kabilah Yahudi tersebut dari Madinah dikarenakan peristiwa yang bisa jadi menurut sebagian orang sangat sederhana, namun tidak bagi baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Pasalnya, kaum Yahudi dari Bani Qainuqa tersebut, di samping sering memicu keonaran, juga telah melakukan kesalahan fatal dengan menyinggung kehormatan seorang perempuan muslimah yang berujung pada menetesnya darah seorang muslim.

Penggalan kisah keempat lainnya tercatat dalam sirah nabawiyah yang menceritakan seorang perempuan bernama Khaulah binti Tsa’labah. Khaulah melapor kepada Nabi akan sikap sang suami yang melakukan zihar kepadanya. Zihar adalah ucapan suami kepada istri yang menyerupakan punggung istri dengan punggung ibunya. Ucapan zihar di masa jahiliyah dipakai oleh suami dengan maksud mengharamkan diri menyetubuhi istrinya yang berakibat istri tersebut menjadi haram bagi suaminya untuk selamanya. Islam pun menetapkan haramnya ucapan zihar ini.

Khaulah menyampaikan masalah pribadinya tersebut dan menuntut keadilan pada Nabi atas sikap suaminya ini dalam sebuah riwayat oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam kitab Sunan Ibnu Majah No. 1691. Curhatan tersebut tidak hanya didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun juga direspons langsung oleh Allah subhanahu wata’ala yang kemudian menurunkan ayat 1 surat al-Mujadilah. Aisyah sebagai perawi Hadis ini tidak menceritakan keseluruhan curhatan Khaulah dikarenakan terkait masalah personal keluarganya. Sebuah adab mulia telah dituntunkan Aisyah radhiyallahu ‘anhaUmmul Mukminin.

تبارَكَ الَّذي وَسِعَ سَمْعُهُ كُلَّ شَيْءٍ  إنِّي لَأَسْمَعُ كَلَامَ خَوْلَةَ بِنْتِ ثَعْلَبَةَ وَيَخْفَى عَلَيَّ بَعْضُهُ  وَهِيَ تَشْتَكِي زَوْجَهَا إِلَى رَسُوْلِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وَسلَّمَ وَهيَ تَقُوْلُ : يَا رَسُوْلَ اللَّهِ أَكَلَ شَبَابِي  وَنَثَرْتُ لَهُ بَطْنِي حَتَّى إِذَا كَبِرَتْ سِنِّي  وَانْقَطَعَ وَلَدِي  ظاَهَرَ مِنِّي اللَّهُمَّ إنِّي أَشْكُوْ إِلَيْكَ  فَمَا بَرِحَتْ حَتَّى نَزَلَ جِبْرَائِيْلُ بِهَؤُلَاءِ الآيَاتِ : قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ… (رواه ابن ماجه)

Artinya, “Maha Suci Allah yang pendengaran-Nya mencakup segala sesuatu. Sungguh, aku pernah mendengar ucapan Khaulah binti Tsa’labah ketika ia mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang suaminya, namun aku tidak mendengar sebagiannya. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, ia telah memakan masa mudaku dan aku buka rahimku untuknya. Namun ketika umurku telah senja dan tidak bisa lagi memberi anak, ia men-zhihar-ku. Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu”. Ia pun tetap saja begitu hingga Jibril turun dengan membawa ayat-ayat tersebut: “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah…” (H.R. Ibnu Majah)

Kisah kelima adalah penerimaan Nabi akan masukan istri beliau yang terakhir wafat, Ummu Salamah. Saat itu, Nabi marah kepada para sahabat yang tidak mengindahkan beliau untuk melakukan tahallul (potong rambut) dan menyembelih hewan kurban setelah menunaikan umrah beberapa waktu setelah perjanjian Hudaibiyah. Mendengar curhatan kekecewaan Nabi, Ummu Salamah kemudian menasehati Nabi, bahwa memang setelah perjanjian Hudaibiyah, ekonomi kaum muslimin mengalami krisis dan perjanjian tersebut banyak merugikan pihak muslim.

Ummu Salamah lalu meminta Nabi untuk memahami kondisi tersebut dan memberikan solusi agar beliau mencontohkan dengan praktik langsung memotong rambutnya dan menyembelih seekor unta kurban. Para sahabat pun saat melihat praktik langsung Nabi tersebut luluh dan ikut ber-tahallul dan menyembelih hewan kurban mereka. Di sini, lagi-lagi terlihat bahwa sejarah dakwah Islam tidak dapat dilepaskan dari peran para perempuan muslimah.

Jamaah rahimakumullah.

Beberapa penggalan kisah dari sirah nabawiyah di atas menjadi bukti bahwa Islam sangat memberikan penghargaan dan penghormatan besar terhadap kaum perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Kini, jika ada pemahaman ajaran Islam yang mengarah pada sikap dan perlakuan yang sebaliknya terhadap perempuan muslimah dengan mengabaikan hak-hak dasar hidup mereka, berarti  hal  tersebut telah mereduksi dan mengerdilkan ajaran mulia baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lebih jauh lagi, mereka yang memiliki pemahaman tersebut tidak menjadikan Nabi sebagai uswatun hasanah. Semoga kita dihindarkan dari sikap yang demikian.

Wallahu a`lam bisshawab

Sumber : Suara Aisyiyah

Leave a Reply